Berbagi tulisan bermanfaat yang pernah ku baca

I’tikaf bagi Wanita

I’tikaf bagi Wanita

  
I’tikaf bagi Wanita

        Dalam rangka mengumpulkan pahala sebanyak mungkin, Islam tidak mem bedakan jenis kelamin. Sebagai mana laki-laki, kaum wanita pun dibolehkan beri’tikaf. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Aisyah yang mengatakan, “Rasulullah saw melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau wafat. Selanjutnya diteruskan oleh istri-istri beliau sepeninggalnya,” (MuU tafaqqun *alaihi).
Namun demikian, berbeda dengan kaum laki-laki, para Muslimah mempunyai syarat tambahan untuk beri'tikaf. Di antaranya, ia tidak boleh beri’tikaf kecuali setelah mendapatkan izin suami atau walinya. Jika diizinkan, bolehkah sang suami atau walinya memintanya kembali untuk membatalkan i’tikaf? Boieh, berdasarkan hadits ketika Aisyah meminta izin kepada Nabi untuk ikut i’tikaf, beliau mengizinkan. Namun perbuatan Aisyah diikuti oleh dua istri Nabi lainnya, yaitu Hafshah dan Zainab. Karena khawatir tidak ikhlas, Nabi meminta untuk membongkar tenda-tenda mereka dan menghentikan rtikaf (HR Bukhari 11/715, Muslim i 1/831).

Namun jika i’tikaf itu wajib, maka ada dua kondisi. Jika dinadzarkan harus berurutan, maka sang suami atau wali tidak berhak membatalkan i’tikaf Muslimah itu, Kalau tidak dinadzarkan harus berurutan, maka suami atau wali boleh memintanya membatalkan i’tikaf (Lihat al-Majmukarya an-Nawawi VI/476).
Syarat lainnya, wanita yang ingin i’tikaf harus dipastikan tidak akan mengundang fitnah. Karenanya, harus dipilih tempat yang baik dan tertutup dari pandangan laki-laki, la juga harus mempertimbangkan keamanan. Misalnya, jika di masjid tak ada wanita lain maka sebaiknya ia tidak melakukan i’tikaf di tempat itu.
Lebih penting dari itu, i’tikaf tak boleh menerbengkataikan hai yang lebih penting. Jangan sampai keluarga dan rumah tangga terbengkalai. Apalagi kalau i’tikaf sekadar tren dan ikut-ikutan.
Wanita yang ingin i’tikaf juga harus dalam keadaan suci, tidak sedang haidh atau nifas. Namun para ulama membolehkan bagi wanita yang sedang istiha- dhah (mengeluarkan darah penyakit). Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Aisyah, ada salah seorang istri Nabi yang i’tikaf dalam keadaan istihadhah. la meletakkan ember untuk mengantisipasi keluarnya darah saat ia shalat (HR Bukhari li/716 dan Abu Daud). Pada masa sekarang, keberadaan pembalut wanita bisa membantu para wanita istihadhah yang mau i’tikaf.
Jika ketika i’tikaf, sang suami meninggal dunia, maka Ibnu Qudamah menjelaskan, “...ia harus membatalkan i’tikafnya untuk menjalani masa iddah-nya. Inilah pendapat yang dipilih Imam asy-Syafi’i."
Namun, Rabi'ah, Malik dan Ibnu Mundzir mengatakan, “Jika i’tikafnya wajib, maka ia harus meneruskannya hingga selesai. Sebab, keduanya sama- sama wajib, dan diutamakan yang lebih dahulu.” Menurut kami (Ibnu Qudamah), menjalani masa iddah hukumnya wajib, dan ia harus membatalkan i’tikafnya (a/- Mughni iV/485). Jika i’tikafnya sunnah, tak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa wanita itu harus keluar dan kembali ke rumahnya untuk menjalani masa iddah.

Jadi, kaum hawa pun boleh beri’tikaf asai memerhatikan rambu-rambunya.




0 komentar:

Posting Komentar

I’tikaf bagi Wanita